Kisah Samurai Nuklir


Dunia mungkin tidak mengenal Shingo Kanno. Dia seorang petani, yang mencangkul hidup dari tanah. Tinggal di daerah Daiichi, hidupnya pas-pasan. Anak pertama seorang perempuan. Baru lahir beberapa bulan lalu. Sebagai ayah muda, Shingo ingin mencari uang tambahan. Bertani saja tidaklah cukup.
Dan peluang itu terbuka di pabrik Pembangkit Listrik tenaga Nuklir (PLTA) Fukushima Daiichi. Ia jadi tenaga kontrak di situ. Jadi buruh kasar untuk pekerjaan konstruksi. Sesudah reaktor itu bocor beberapa waktu lalu, Shingo dan beberapa rekan lainnya dikirim pulang. 

Saat Pemerintah Jepang mengevakuasi penduduk dari sekitar Fukushima, Shingo sempat pindah bersama istri dan bayi putrinya ke rumah saudara ipar. Dia pun membantu evakuasi keluarga besarnya dari Minamisoma, wilayah dengan radius kurang dari 30 km dari pabrik ke pusat kebugaran dan pusat pengungsian lainnya. 

Shingo bersama 500 orang lainnya berkemah di pusat kebugaran Yonezawa. Kebanyakan mereka berasal dari daerah dengan radius 30 kilometer dari Fukushima. Bahkan, beberapa rumah penduduk ini masuk dalam zona evakuasi dengan tingkat radiasi 17 kali lebih tinggi dari ambang normal.

Lalu, kerabat mengatakan Shingo mendapat telepon dari pabrik dan memintanya kembali bekerja. Keluarga besar memintanya untuk tidak kembali ke pabrik, sebab itu sama saja dengan menyetor jiwa. Reaktor itu sewaktu-waktu bisa meledak. Apalagi Shingo adalah petani, bukan ahli nuklir. Sama sekali tidak punya keahlian khusus untuk kondisi darurat nuklir.
Namun, Shingo bersikeras kembali ke pabrik. Dan hingga kini, keluarga tak mendengar kabar apapun dari dalam pabrik itu.  

"Orang-orang menyebut mereka (pekerja Fukushima) sebagai samurai nuklir karena mau mengorbankan hidup mereka dan berupaya memperbaiki kebocoran," kata paman Shingo, Masao Kanno seperti dilansir dari laman Sidney Morning Herald, Rabu 23 Maret 2011. "Tapi, orang seperti Shingo amatiran. Mereka (Shingo dkk) sebetulnya tak menolong banyak."

Sebutan 'samurai nuklir' ini menjadi tren di kalangan masyarakat terutama setelah televisi lokal mewawancara pekerja di reaktor yang berjibaku menghentikan kebocoran reaktor. Dengan wajah dikaburkan, pekerja ini menceritakan sirene meraung, asap mengepul, ledakan begitu kuat hingga bumi seperti bergemuruh. 

Pekerja ini lantas mengungkapkan perang batinnya saat berniat meninggalkan pabrik. Dia mengaku keputusan ini sangat sulit tapi dia ingin cepat-cepat keluar dari pabrik. Semua keluarga yang berkemah di pusat kebugaran menyaksikan wawancara dengan si pekerja ini. 

"Menurut saya, pekerja nuklir itu sudah dicuci otaknya," kata salah satu warga, Keiichi Yamomoto. Orang Jepang, kata dia, biasanya memfokuskan hidupnya untuk perusahaan. "Dan perusahaan memprioritaskan pekerjanya."

Diberitakan sebelumnya, sekitar 50 pekerja dipertahankan di PLTA Fukushima untuk memantau empat unit reaktor yang sempat bermasalah pasca-gempa. Kementerian Kesehatan Jepang khawatir para pekerja itu sudah terpapar radiasi nuklir dalam kadar yang sangat besar, yaitu dari 100 millisieverts menjadi 250 millisieverts. Jumlah itu lima kali lebih besar kadar maksimum yang ditolerir bagi pekerja PLTN di Amerika Serikat maupun di tempat lain.
Maka, mereka harus berada di PLTN lebih lama lagi. Pengelola PLTN yang bermasalah itu, Tokyo Electric Power, belum bisa menjelaskan perkembangan nasib para pekerja yang bertahan di sana. Selain itu belum bisa diperkirakan sampai berapa lama pekerja di PLTN itu kuat terkena paparan radiasi.
newer older home